Kamis, 20 Februari 2014

SUSUNAN RAJA-RAJA DI KERAJAAN LIYA MULAI TAHUN 1542 - 1952 DAN KONSTELASINYA

sumber : Ali Habiu


Persoalan sosial budaya yang akhir-akhir ini muncul ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Liya adalah adanya pameo bahwa Raja Liya atau Lakina Liya atau Mo'ori ULiya hanya dipegang oleh sekelompok orang atau golongan tertentu. Padahal menurut data sejarah yang diperoleh dari hasil pendataan,  mendapatkan bahwa Raja Liya yang memiliki gelar La Ode setelah La Djilabu terdapat 25  orang Raja dengan masing-masing marga keturunannya. Fakta-fakta ini masih dijumpai secara langsung di lapangan berupa adanya bekas peninggalan Kamali atau Istana dari Raja-Raja yang pernah berkuasa di Liya  diberbagai lokasi/dusun seperti terdapat di Bisitio, Kareke, Ewulaa, Laro Togo dan Woru. Hanya saja baik pemerintah daerah maupun para tokoh adat tidak mau memelihara atau membangkitkan atau mengembangkan/membangun kembali bekas Istana Raja Liya ini akibat dari kurangnya mereka mendapat informasi sejarah disamping adanya komunitas tertentu yang berupaya politisasi sosial budaya dalam lingkungan benteng keraton Liya.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa sejak bangsa Jepang berkuasa di Indonesia mulai tahun 1942 sampai 1948 banyak rakyat yang sengsara akibat dilakukannya kerja paksa. Para Raja-raja yang berkuasa dizaman jepang ini mau tidak mau terpaksa harus mengikuti pola kerja paksa Jepang dalam memerintah masyarakatnya sehingga rakyatpun tidak ada sela setiap harinya sudah diberi lahan untuk melaksanakan kerja paksa dengan target waktu yang ditentukan. Tidak sedikit rakyat yang wafat dan bahkan cacat seumur hidup akibat dari pelaksanaan kerja paksa ini. Akibat dari kerja paksa ini rakyat terpaksa diperintahkan untuk mengambil batu dari pagar benteng (tondo) keraton Liya bagian atas atau keseluruhan. Akibatnya yang kita jumpai saat ini di lapangan tinggi benteng tinggal terdapat sisa rata-rata antara 1,00 sampai 1,50 meter dari  seharusnya tinggi aslinya  mencapai 3 ,00 meter.  Bahkan untuk Benteng Keraton pada lapisan kedua (zone dua) hampir secara keseluruhan telah punah karena material batuannya telah digunakan untuk bahan pondasi jalan.  Pada zaman Jepang ini yang berkuasa sebagai Raja Liya yang diperkirakan mulai dari tahun 1923 adalah La Ode Taru. Pada masa kepemimpinan La Ode Taru mengadakan perlawanan kepada  Romusa Jepang yang ditugaskan di Liya karena beliau tak tegah melihat kesengsaraan rakyatnya yang diperintah kerja paksa dan di siksa. Pada konteksi inilah cikal bakal Raja Liya La Ode Taru di bawa oleh tentara Jepang  ke Kendari untuk mendapat hukuman dan beliau wafat di Kendari di Kota lama.   Pada masa Romusa inilah terjadi kerja paksa di desa Liya atas desakan tentara Jepang dimana masyarakat setiap harinya tanpa kecuali di perintah untuk kerja paksa dan bagi yang tidak ikut akan diberi denda dan sanksi berat tanpa suatu keadilan berupa hukuman cambuk atau tidak diberi jatah makan.

Walaupun demikian kerusakan benteng tidak hanya terjadi pada masa masuknya Romusa tentara Jepang di Liya namun jauh-jauh hari sebelumnya sejak ditanda tanganinya Perjanjian Asyikin-Brughman Tahun 1902 tentang wajib pajak seluruh wilayah kesultanan buton, maka saat itupula secara sembarangan Benteng Liya, khususnya pada lapis ketiga (zone-3) batuannya telah diambil oleh petugas-petugas Belanda untuk dijadikan sebagai bahan pondasi pelabuhan, breack water dan lainnya, disamping sebagai bahan pagar/tondo kebun bagi masyarakat lokal. Dengan demikian saat ini hampir sebagian besar atau sekitar 2/3 bagian panjang Benteng Lapis ketiga (zona-3) ini telah punah. Data-data arkiologis di lapangan masih bisa diketemukan bekas-bekas Benteng lapis ketiga ini yakni dengan ditemukannya benteng-benteng atau baluara Patua dan mudah-mudahan Tim Balar Makassar akan segera mengungkap secara mendetail keberadaan Benteng Liya lapis ke tiga tersebut yang rencana akan aksi tahun 2013 mendatang.

Pada masa romusa tentara Jepang masuk ke Liya banyak mantan (yaro) Lakina Liya atau Raja Liya atau Mo'ori ULiya beserta keturunannya melarikan diri berhijrah menuju ke Ternate, Maluku, Seram, Ambon, Irian Barat dlsb karena merasa harga diri mereka sebagai bekas Raja terinjak-injak akibat dari perlakuan semena-mena bangsa Jepang pada saat itu. Dalam konteksi demikian ini maka secara polarisasi pamor kekuasaan para Raja Liya sebelum  masuknya eomusa ke Liya dari waktu kewaktu makin absurd dan hilang dari percaturan opini masyarakat Liya hingga terjadi pengkaburan nilai-nilai sejarah. Oleh Karena itu sudah saatnya tiba untuk meluruskan hegemoni konflik sosial budaya ini dan melalui wadah Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLI Indonesia menghimbau kepada semua elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh budaya untuk kembali ke khittah Raja Liya Pertama La Djilabu.

Oleh karena itu mengingat begitu kompleksnya permasalahan sosial budaya dalam lingkungan masyarakat Liya maka Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLi Indonesia telah melapor ke Presiden Republik Indonesia, Menteri Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia demikian juga ke Bupati Wakatobi untuk segera menganggarkan pembangunan proto tipe bangunan istana para raja-raja Liya yang pernah berkuasa untuk dibangunkan istana atau Kamali di bekas lokasi istananya yang telah punah yang sebagian besar tinggal tanah yang kosong disamping juga segera membangun Pusat Informasi Kebudayaan Liya yang berpusat di dalam keraton Liya.  Dalam kesempatan itu Bupati Wakatobi Hugua sangat antusias dan mendukung penuh program tersebut dan memerintahkan Lembaga KabaLi untuk mengusulkan anggaran dimaksud untuk segera dibangun Tahun Anggaran 2013.   Demikian juga Kementerian Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia telah setuju untuk digulirkan dana Dekonsentrasi/DAK untuk membantu pembangunan ini melalui DIPA Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara yang rencana akan digulirkan tahun 2013 mendatang.

Berdasarkan naskah Hikayat Negeri Buton (HNB) menyebutkan bahwa Sipanjonga pernah menjadi Raja di Liya. Demikian pula DR. La Niampe,M.Hum saat kami konfirmasi keberadaan Raja-raja di Liya masa lalu mengatakan bahwa Simalui pernah juga singgah di Liya untuk memerintah disana sebagai Raja Liya. Menurutnya berdasarkan naskah yang dimiliki dari negeri Belanda disebutkan  bahwa Benteng Liya dibangun akhir abad ke XI. Rachmad Hendiarto dalam beberapa tulisan lepasnya di media ini mengatakan bahwa keturunan Wangsa Rajasa pernah juga memerintah di Liya mulai sekitar abad XIII. Pembuktian etafak, artifak dan situs tentang keberadaan mereka masa lalu dapat di lihat dari spesifikasi struktur pasangan benteng Liya, model pintu-pintu Lawa, Baruga, Batanga, Yoni dan Lingga, Pohon sirikaya berpasangan dengan pohon delima, bunga cempaka, pohon beringin besar di kareke, model-model makam kuno. Selain itu beberapa tempat bernamakan khas seperti Untukoloro (bahasa jawa : untu loro, giginya dua), simpora (bahasa jawa : simpo ora, artinya orang dilarang bersujud atau menyembah), Tamba'a (bahasa sunda : air pengobatan/air keramat), melebaki (bahasa jawa : melek baki, membawa baki sambil mengolok-ngolok atau mengejek) dlsb. Menurut La Ode Muhammad Syarif Mukmin dalam bukunya "Sejarah Buton" dikatakan bahwa wilayah-wilayah kerajaan di lingkup wilayah toritorial kerajaan buton nanti baru masuk dalam wilayah kekuasaan toritorial raja buton setalah Raja Buton ke V yakni bernama Raja Mulae berkuasa mulai Tahun 1498 - 1538. Sebelum berkuasanya raja ini, wilayah kerajaan Liya berdiri sendiri dengan memiliki Raja dan kekuasaan sendiri.

Susunan nama-nama Lakina Liya atau Meantu,u Liya atau Raja Liya mulai dari zaman Kerajaan sesudah wilayah kerajaan Liya masuk dalam wilayah toritorial Kerajaan Buton hingga zaman kesultanan Buton mulai tahun 1542 sampai 1952 (sumber : La Ode Harisi), sebagai berikut :
No.
Nama Raja Liya
Tahun Kekuasaan
Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
La Djilabu
Gara Gansa Tenda
La Buru
La Rampe
La Ode Ngka’ali
La Ode Maniumbe
Talo – Talo (Lakueru)
La Ode Banggala (Yaro Ahu/Ld. Yani
La Ode Bunga Tondo
La Ode Balobamba
Aama Wa Bunga
La Ode Ali
La Ode Hasani
La Ode Karuba
La Ode Kundarisi
La Odhe
La Ode Kareke
La Ode Gonda
La Ode Ikirani
La Ode Romu
La Ode Umane
La Ode Daani
La Ode Nggole
La Ode Besi
La Ode Onde
La Ode Kaadim
La Ode Tindoi
La Ode Adi
La Ode Taru
La Ode Bosa
La Ode Bula
La Ode Harisi
1542 - 1588
1588 – 1618
1618 – 1626
1626 – 1652
1652 – 1658
1658  --1674
1674 – 1694
1694 – 1703
1703  -  1712
1712  -  1724
1724  -  1732
1732  -  1750
1750  -  1755
1755  -- 1767
1767  -  1772
1772  -  1780
1780  -  1790
1790  -  1798
1798  -  1812
1812  - 1828
1828  -  1832
1832  - 1836
1836  -  1856
1856  -  1875
1875  -   1891
1891  -  1894
1894  - 1914
1914  -  1916
1916  -  1940
1940  - 1942
1942  -  1952
2012 - sekarang
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Sangia Gola
Asal Wolio
Asal Wolio
Menjadi Sapati Labunta
Asal Wolio
Asal Wolio

1 komentar:

  1. meski ada yang perlu di teliti keabsahan sejarah liya, tapi situs ini menjadi tangga pertama untuk menaiki pengetahuan sejarah liya yang sudah terlupakan oleh masyarakatnya, sendiri

    BalasHapus